Sekitar satu bulan yang lalu, tepatnya sekitar awal bulan Januari, saya bersama teman-teman kuliah saya mendapat kesempatan untuk melancong ke kotanya Sri Sultan Hamengkubuwono X, Jogjakarta. Travelling kali ini memang sengaja dibuat sama temen-temen untuk refreshing dan menjadi semacam "perpisahan" kita setelah kepengurusan satu tahun di BEM FEUI. Yap, kami sempat bersama selama satu tahun ketika menjabat sebagai bph pada tahun 2013 lalu, jadi gak sah kalo berpisah tanpa perpisahan hehe. Awalnya saya kira rencana ini cuma jadi wacana, tak disangka kami ber-25 jadi juga melancong ke Jogja! :)
Kami berangkat ke Jogja berangkat menggunakan kereta ekonomi AC, begitu juga nanti ketika pulangnya. Ala "backpacker", ceritanya, tapi kami malah mengalami sedikit kehebohan ketika sudah memasuki gerbong kereta. Nomer tempat duduk di tiket kami mengacak, bercampur baru dengan penumpang yang lain, bahkan ada yang terpisah di gerbong lain. Maka ekspektasi kami pun sedikit meleset, yang awalnya ingin barengan ketika perjalanan, harus siap berbagi kursi dengan penumpang yang lain. Ditambah lagi kursi kereta ekonomi AC yang saling berhadap-hadapan. Masih untung ada yang berdua atau bertiga, tapi ada teman saya, Adan dan Danang, mereka harus terpisah sendiri di tempat mereka masing-masing dan bergabung dengan sebuah keluarga yang tidak mereka kenal. Bersiap untuk 12 jam awkward momment, selamat menggunakan skill bersosialisasi! :D
Sementara saya sendiri berhadapan dengan dua orang, yang awalnya saya kira pasangan suami istri, ternyata setelah saya perhatikan lebih lanjut ternyata bukan. Disebelah kanan saya kosong, mungkin tempat duduk itu sebenarnya untuk teman saya yang tidak jadi ikut ke Jogja, makanya tidak ada yang menempati. Setelah kereta mulai berjalan, akhirnya Danang pindah tempat duduk di sebelah saya, mungkin takut diadopsi sama keluarga yang duduk bareng sama dia ya, haha.
****
Sempat saya perhatikan dua orang di depan saya, seorang ibu dan seorang bapak, mereka bukan pasangan suami istri. Mereka juga seperti kami, harus berbaur dan berbagi dengan orang yang baru ditemui di atas gerbong. Si Bapak terlihat cuek, dan tidak terlalu peduli dengan orang yang ada dihadapannya dan disebelahnya. Sementara ibu yang ada di depan saya terlihat lebih ramah dan lebih senang mengajak bicara orang yang ada disekitarnya. Terkadang ibu tersebut menawarkan permen ke kami, terkadang pula dia sering menggunakan hpnya untuk menghubungi seseorang (mungkin keluarganya), dengan bahasa isyarat. Belum pernah sebelumnya saya bertemu langsung dengan orang yang berkomunikasi dengan bahasa isyarat lewat hp, jadi cukup menyita perhatian saya ke ibu itu.
Selama perjalanan, saya tidak terlalu tertarik untuk mengajak ngobrol ibu dan bapak yang ada di depan saya. Beberapa jam di awal saya habiskan dengan tidur. Bangun-bangun, kanan kiri saya sudah ada hamparan sawah membentang. Lumayan, pemandangan bagus setelah terbangun dari tidur :). Mungkin, melihat saya yang sudah bangun dan sedang tidak ada kerjaan, si ibu yang ada di depan saya mengajak ngobrol saya, dengan bahasa isyarat. Awalnya saya pikir ibu itu memiliki saudara yang mengalami keterbatasan dalam pendengaran, tapi menyadari saya diajak berbicara dengan bahasa isyarat, saya baru sadar ibu itu yang menderita tuna wicara. Entah, beliau mengalami tuna rungu juga atau tidak, karena setau saya kalau orang yang mengalami tunga rungu sejak lama, secara otomatis dia mengalami tuna wicara juga *CMIIW*.
Oke, saya pun diajak bicara sama beliau. Perlahan mencoba memahami apa yang ia maksud. Danang yang berada disebelah saya pun memperhatikan. Si ibu "berbicara" banyak sekali dan agak cepat, sampai terkadang saya bingung apa maksudnya, namun sedikit bisa memahami. Saya sok mengerti saja, sambil berpikir keras untuk menafsirkan.
Informasi pertama yang saya dapat adalah, tujuan ibu ini ke Cirebon. Kemudian ibu itu berisyarat kembali, saya agak kebingungan, mungkin dia menanyakan sesuatu ke saya. Saya sedikit menangkap, dia bertanya dari mana asal saya. Saya bilang saja secara lisan, "dari Depok Bu". Namun ibu itu tidak paham. Sampai dia menyuruh saya untuk buka notes di hp, untuk menulis jawabannya. Dari situ baru paham kalau si ibu sepertinya juga mengalami tuna rungu. Pembicaraan kami pun terus berlanjut. Terkadang saya menanggapinya hanya dengan menangguk dan tersenyum, sebenarnya tidak paham apa yang dimaksud dari si ibu, hehe maaf bu :). Sesenang itu saya ketika saya bisa menangkap apa yang ibu maksud, hehe norak. Danang dan Adan yang kebetulan kursinya ada diseberang lorong tengah gerbong pun terkadang diajak bicara. Tak jauh beda dengan saya, mereka menanggapinya dengan tersenyum. Entah mereka paham atau tidak :).
****
Dari puluhan keberangkatan kereta ekonomi AC ke Jogja pada hari itu, saya ditempatkan keberangkatan kereta pada jam satu siang. Dari sekitar tujuh gerbong dalam satu rangkaian kereta, saya menempati gerbong nomer lima. Dan dari puluhan nomer deret kursi, saya menempati nomer 14 A, tepat di depan ibu itu. Allah mempertemukan kami. Mungkin Allah ingin mengingatkan kepada saya untuk lebih bersyukur. Karena nikmat dari-Nya itu sederhana, tapi tak tergantikan. Sesederhana kita untuk bisa berbicara untuk bisa berkomunikasi. Mungkin Allah ingin saya untuk sadar, keterbatasan itu relatif. Relatif terhadap usaha manusia untuk melampauinya. Buktinya ibu itu, mungkin memiliki keterbatasan dalam berkomunikasi, tapi kegemarannya malah bersosialisasi. Saya meyakini bahwa semua kejadian pasti ada hikmahnya, termasuk pertemuan saya dengan ibu itu.
****
Saya melihat ke arah luar jendela di sebelah kiri saya, terdapat plang besar bertuliskan "STASIUN CIREBON PRUJAKAN". Ibu yang sedari tadi menunjuk-nunjuk jam tangannya, bergegas berdiri dan bersiap untuk turun. Sebelum beliau melangkah keluar, si ibu menumpahkan sejumlah permen mint ke meja kecil di sebelah kiri saya. "Untuk dimakan selama perjalanan," seraya ibu itu berkata dengan bahasa isyaratnya. Saya hanya tersenyum, berterima kasih. Ibu itu lalu melangkah pergi keluar.
"Bro, tadi lo ngerti apa yang diomongin sama ibu itu?" Adan yang tadi juga diajak bicara sama ibu itu langsung bertanya ke saya dan Danang. "Haha, kadang paham, kadang nggak juga Dan," jawab saya.
Grek. Kereta pun langsung bergerak untuk melanjutkan delapan jam perjalanan yang tersisa menuju Stasiun Lempuyangan, Jogjakarta.