Yap, ini kelanjutan cerita kami
di negeri sakura. Karena kami sampai di bandara Haneda lewat tengah malam waktu
setempat, kami memutuskan untuk bermalam di bandara tersebut. Kebetulan,
bandara Haneda memperbolehkan para pelancong seperti kami untuk bisa bermalam
di sana. Kami memutuskan baru berangkat ke hostel pada keesokan harinya. Selain
karena suhu disana cukup dingin, kami juga baru bisa check-in pada keesokan
harinya, jam 3 sore.
Pagi harinya, sekitar jam 7 pagi
waktu setempat kami memutuskan untuk bergegas keluar dari bandara. Mumpung di
negeri orang, kenapa nggak memanfaatkan waktu dengan jalan-jalan? Hehe. Menariknya,
ketika keluar bandara kita tak perlu dibingungkan dengan transportasi apa yang
bisa mengantarkan kita ke pusat kota. Tidak perlu dibingungkan pula dengan calo
taksi yang menawarkan harga setinggi langit. Kita tak perlu jauh-jauh keluar
bandara untuk mencapai stasiun monorel bandara, karena di sini terminal bandara
terintegrasi langsung dengan stasiun monorel.
Di Tokyo, JReast mengeluarkan
semacam kartu terintegrasi untuk moda-moda transportasi di sana, yakni Suica
Card. Kartu ini tidak hanya bisa kita gunakan untuk keliling Tokyo, bahkan
hingga keluar kota. Memperolehnya pun mudah, kita tinggal memasukkan sejumlah
uang sesuai dengan kebutuhan ke semacam vending machine tiket kereta, biasanya
opsinya 1000 yen, 2000 yen, 5000 yen, hingga 10.000 yen. Operasionalisasinya pun
mudah, karena mesin tersebut bisa menggunakan dua bahasa, Jepang dan Inggris. Untuk
awalan, kami harus membeli kartunya dulu dengan jumlah saldo sesuai keperluan
kami. Tapi mungkin untuk teman-teman yang tidak ingin membeli kartu terusan
semacam ini, bisa membeli tiket sekali jalan sesuai dengan stasiun yang dituju.
![]() |
Image Source |
![]() |
Pemandangan di sekitar stasiun bandara |
![]() |
Monorel |
Nah, hal ini lah yang menginspirasi
saya ketika pulang ke Indonesia untuk membuat kartu yang serupa. Kalau JReast
punya Suica, Commuterline Jakarta punya kartu terusan yakni COMMET (Commuter
Electronic Ticketing). Fungsinya pun sama, hanya saja untuk saat ini baru bisa
digunakan untuk moda commuterline saja. Tapi tentu dalam hati saya berbangga, “wah,
Indonesia juga udah punya sistem ticketing sebagus ini loh, hehe”.
Pengalaman saya dengan kartu
terusan seperti ini juga terjadi ketika saya menggunakan moda transjakarta,
namun kali ini cukup mengecewakan. Mengapa? Jadi ketika itu saya menuju kantor
Imigrasi Jakarta Selatan untuk memperbarui paspor saya yang sebentar lagi habis
masa berlakunya. Saya transit dari stasiun Cawang ke shelter Busway koridor IX.
Ketika saya ingin membeli karcis, yang biasanya hanya Rp 3.500, tiba-tiba
mbak-mbak di sana menjelaskan bahwa harus membeli kartu top-up BCA Flazz
seharga Rp 40.000.
“Emang ga bisa beli tiket harian mbak?” kata saya.
“Wah, nggak bisa mas. Di sini sudah
menerapkan e-ticketing, jadi Mas
harus beli BCA Flazz top up card.”
Wah, kok penerapan teknologi
malah menyusahkan dan memberatkan konsumen? Kata saya dalam hati. TI seharusnya
bisa memudahkan, bukan malah memberatkan seperti ini. Apakah penerapan TI di
Transjakarta tidak mempertimbangkan penglaju yang hanya perlu untuk sekali
jalan? Tidak usah jauh-jauh kita mencontoh ke Jepang, PT KAI saja juga sudah
menerapkan kartu terusan dan kartu harian sehingga tidak memberatkan konsumen.
Sepulangnya dari kantor Imigrasi pun saya tetap harus membayar karcis manual
sebesar Rp 3.500, karena busway koridor VI belum menerapkan e-ticketing. Rugi bandar, haha. Miris :”).
Ini masukan saya untuk PT.
Transjakarta untuk tetap menerapkan karcis sekali jalan karena masih banyak
pengguna Transjakarta yang hanya perlu menggunakan moda tersebut sekali dua
kali saja.
Terlepas dari kekecewaan saya, ternyata
pemerintah sudah punya rencana ke depan untuk menerapkan satu tiket terintegrasi
(baca Kompas 21 November 2014). Jadi bisa digunakan untuk naik Commuterline,
Transjakarta, MRT, Monorel, dan bus-bus reguler. Ya, semoga ini bisa
benar-benar direalisasikan :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar