Starting is always the hardest point. Gak kerasa udah hampir
sebulan lebih banyak tersita waktu untuk melakukan hal ini itu di kampus:
tugas, UAS, organisasi, proposal skripsi, etc. Hampir sebulan itu juga nggak
sempet posting, dan rasanya memang memulai kembali dari awal rasanya berat. Tapi,
menulis itu rasanya cukup bisa menghilangkan stres bagaimana pun kondisi kita
:)
Oke, saya mau lanjut cerita #JTS
saya ketika Juni tahun lalu ke Tokyo. Kebetulan ada pengalaman cukup unik
ketika itu. Bertepatan dengan hari Jumat, sebagai muslim tentu sudah menjadi
kewajiban untuk melaksanakan sholat Jumat di Masjid. Tapi di negara dengan
Islam sebagai penduduk yang sangat minoritas di sini, how can we find a mosque here? Awalnya kami berniat untuk sholat
zuhur biasa saja, karena tempat yang tidak memungkinkan. Tapi setelah iseng searching di googlemaps dengan kata
kunci ‘mosque’, ternyata tak berbeda
beberapa blok dari penginapan kami terdapat Islamic Center. Ya, “Assalam
Islamic Center” bisa ditempuh dengan berjalan kaki saja dari penginapan kami. Hostel
kami tepat berada di daerah Ueno, sebuah distrik yang berada di pinggiran
Tokyo, meskipun masih termasuk dalam kota tapi cukup tenang dan hanya 10 menit
jalan kaki ke Akihabara. I’m surely
recommended that place! *jadi promosi :D*
![]() |
Jarak antara Hostel dan Assalam Islamic Center |
Waktu zuhur di sana tidak jauh
berbeda dengan di Indonesia, yang sangat berbeda hanya waktu subuh ketika itu
(jam 3 udah subuh!). Pukul setengah 12 kami beranjak dari hostel ke Assalam. Dengan
berpatokan pada googlemaps, dan google street view, kami mencari ciri-ciri
bangunan yang serupa dengan gambar yang ada di google.
![]() |
Tampak Depan |
Sederhana, satu kata yang muncul
di benak saya ketika melihat bangunan Islamic Center tersebut. Tak usah
bayangkan besarnya kubah atau menjulangnya menara masjid, pengeras suara untuk
mengumandangkan azan pun sepertinya tidak ada, karena di sana dianggap
mengganggu aktivitas warga yang lain. Hanya bangunan dengan lebar sekitar 6-8
meter, yang memiliki tinggi 4 lantai, tapi cukup nyaman untuk bermunajat kepada
Allah swt :). Uniknya, di sini lah kami menemukan satu-satunya toilet yang “normal”
yang kami temukan selama di Tokyo (kebanyakan toilet di sana tidak menyediakan
fasilitas untuk membersihkan setelah buang air, seperti toilet-toilet yang ada
di mall-mall baru di Jakarta).
Jam menunjukkan sekitar pukul 12
siang ketika itu, seharusnya sudah memasuki waktu zuhur, tapi sholat Jumat tak
kunjung di mulai, ada apa? Memang ketika itu baru ada kami, beberapa imigran
yang memakai gamis putih dengan parfum yang khas duduk di barisan terdepan, dan
anak-anak Indonesia, sekitar usia anak smp, yang tak sengaja kami temui
sebelumnya di Odaiba.
Pukul 1 siang, akhirnya azan
dikumandangkan, tanpa pengeras suara. Barulah ketika itu saya tersadar, sholat
Jumat baru dimulai ketika jama’ah sudah penuh. Jadi di sana sholat Jumat yang
menunggu jama’ah, bukan sebaliknya. Maklum, mungkin karena satu-satunya Masjid
di daerah sana, banyak jama’ah yang harus menempuh jarak yang cukup jauh untuk
bisa mencapai Islamic Center tersebut. Di sana saya berjumpa dengan seorang
mahasiswa Indonesia. “Saya ke sini bisa hampir 1 jam mas”, katanya. Wajar saja
dalam hati saya. Kondisi menjadi minoritas seperti ini mungkin sulit untuk kita
jumpai di Indonesia, masjid bertebaran di mana-mana. Masjid bertebaran di
mana-mana, tapi mirisnya yang sholat hanya sebaris dua baris, harusnya kita
malu. Bayangkan saudara kita harus menempuh 1 jam lamanya untuk sholat Jumat.
#ntms
****
Iseng saya perhatikan jama’ah
ketika itu, mayoritas ternyata imigran yang bekerja di Jepang. India, Afrika,
Arab, Pakistan, beberapa orang dari Asia Tenggara, pelajar dari Indonesia, dan
kalau tidak salah saya hanya melihat seorang bapak penduduk lokal di situ. Memang
ternyata nafas Islam yang ada di negeri ini kebanyakan dibawa oleh imigran atau
pekerja yang mencoba mengadu nasibnya di sini. Imam masjid pun berasal Mesir
yang khusus sebulan menetap hanya selama Ramadhan.
“Do you come from Malaysia?” tanya sang Imam kepada kami selepas
sholat Jumat.
“Oh bukan, kami dari Indonesia.
Kami di sini untuk berlibur selama seminggu,” jawab kami.
“Jadi kalian tidak di sini ketika
Ramadhan nanti?”
“Ya, kami menjalankan Ramadhan
nanti insya Allah di negeri kami,”
Mungkin sedikit kecewa bagi sang Imam, karena tidak bisa bersama-sama menjalani bulan Ramadhan di Tokyo. Kehadiran 3-4 orang saja mungkin akan sangat meramaikan atmosfer muslim di sana, mungkin itu sebabnya.
With Syaikh from Egypt :D |
Sedikit pelajaran berharga yang
kami dapatkan ketika menjadi minoritas, untuk sekedar menuju masjid, atau
bertemu saudara sesama muslim di negeri kita memang mudah, tapi bayangkan
ketika harus menempuh berpuluh-puluh kilometer untuk bertemu sebuah masjid,
atau sedih ketika beberapa orang harus berpisah dan tidak bisa menjalankan
Ramadhan bersama, hanya beberapa orang!
Meskipun hanya seminggu di sana, tapi cukup memberikan pelajaran kepada saya menjadi minoritas, dan semoga bisa menjadi penyemangat kita dan pemacu diri kita untuk lebih menghargai kondisi yang kita miliki. Aamiin! :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar