Jump High!: Tokyo Dome (2014)

Jump High!: Tokyo Dome (2014)
Jump High! Tokyo Dome - Japan (2014)

Selasa, 06 Januari 2015

#JTS 3: Islam di Ujung Timur Dunia

Starting is always the hardest point. Gak kerasa udah hampir sebulan lebih banyak tersita waktu untuk melakukan hal ini itu di kampus: tugas, UAS, organisasi, proposal skripsi, etc. Hampir sebulan itu juga nggak sempet posting, dan rasanya memang memulai kembali dari awal rasanya berat. Tapi, menulis itu rasanya cukup bisa menghilangkan stres bagaimana pun kondisi kita :)

Oke, saya mau lanjut cerita #JTS saya ketika Juni tahun lalu ke Tokyo. Kebetulan ada pengalaman cukup unik ketika itu. Bertepatan dengan hari Jumat, sebagai muslim tentu sudah menjadi kewajiban untuk melaksanakan sholat Jumat di Masjid. Tapi di negara dengan Islam sebagai penduduk yang sangat minoritas di sini, how can we find a mosque here? Awalnya kami berniat untuk sholat zuhur biasa saja, karena tempat yang tidak memungkinkan. Tapi setelah iseng searching di googlemaps dengan kata kunci ‘mosque’, ternyata tak berbeda beberapa blok dari penginapan kami terdapat Islamic Center. Ya, “Assalam Islamic Center” bisa ditempuh dengan berjalan kaki saja dari penginapan kami. Hostel kami tepat berada di daerah Ueno, sebuah distrik yang berada di pinggiran Tokyo, meskipun masih termasuk dalam kota tapi cukup tenang dan hanya 10 menit jalan kaki ke Akihabara. I’m surely recommended that place! *jadi promosi :D*

Jarak antara Hostel dan Assalam Islamic Center


Waktu zuhur di sana tidak jauh berbeda dengan di Indonesia, yang sangat berbeda hanya waktu subuh ketika itu (jam 3 udah subuh!). Pukul setengah 12 kami beranjak dari hostel ke Assalam. Dengan berpatokan pada googlemaps, dan google street view, kami mencari ciri-ciri bangunan yang serupa dengan gambar yang ada di google.

Tampak Depan
Sederhana, satu kata yang muncul di benak saya ketika melihat bangunan Islamic Center tersebut. Tak usah bayangkan besarnya kubah atau menjulangnya menara masjid, pengeras suara untuk mengumandangkan azan pun sepertinya tidak ada, karena di sana dianggap mengganggu aktivitas warga yang lain. Hanya bangunan dengan lebar sekitar 6-8 meter, yang memiliki tinggi 4 lantai, tapi cukup nyaman untuk bermunajat kepada Allah swt :). Uniknya, di sini lah kami menemukan satu-satunya toilet yang “normal” yang kami temukan selama di Tokyo (kebanyakan toilet di sana tidak menyediakan fasilitas untuk membersihkan setelah buang air, seperti toilet-toilet yang ada di mall-mall baru di Jakarta).

Jam menunjukkan sekitar pukul 12 siang ketika itu, seharusnya sudah memasuki waktu zuhur, tapi sholat Jumat tak kunjung di mulai, ada apa? Memang ketika itu baru ada kami, beberapa imigran yang memakai gamis putih dengan parfum yang khas duduk di barisan terdepan, dan anak-anak Indonesia, sekitar usia anak smp, yang tak sengaja kami temui sebelumnya di Odaiba.

Pukul 1 siang, akhirnya azan dikumandangkan, tanpa pengeras suara. Barulah ketika itu saya tersadar, sholat Jumat baru dimulai ketika jama’ah sudah penuh. Jadi di sana sholat Jumat yang menunggu jama’ah, bukan sebaliknya. Maklum, mungkin karena satu-satunya Masjid di daerah sana, banyak jama’ah yang harus menempuh jarak yang cukup jauh untuk bisa mencapai Islamic Center tersebut. Di sana saya berjumpa dengan seorang mahasiswa Indonesia. “Saya ke sini bisa hampir 1 jam mas”, katanya. Wajar saja dalam hati saya. Kondisi menjadi minoritas seperti ini mungkin sulit untuk kita jumpai di Indonesia, masjid bertebaran di mana-mana. Masjid bertebaran di mana-mana, tapi mirisnya yang sholat hanya sebaris dua baris, harusnya kita malu. Bayangkan saudara kita harus menempuh 1 jam lamanya untuk sholat Jumat. #ntms

****

Iseng saya perhatikan jama’ah ketika itu, mayoritas ternyata imigran yang bekerja di Jepang. India, Afrika, Arab, Pakistan, beberapa orang dari Asia Tenggara, pelajar dari Indonesia, dan kalau tidak salah saya hanya melihat seorang bapak penduduk lokal di situ. Memang ternyata nafas Islam yang ada di negeri ini kebanyakan dibawa oleh imigran atau pekerja yang mencoba mengadu nasibnya di sini. Imam masjid pun berasal Mesir yang khusus sebulan menetap hanya selama Ramadhan.

Do you come from Malaysia?” tanya sang Imam kepada kami selepas sholat Jumat.
“Oh bukan, kami dari Indonesia. Kami di sini untuk berlibur selama seminggu,” jawab kami.
“Jadi kalian tidak di sini ketika Ramadhan nanti?”
“Ya, kami menjalankan Ramadhan nanti insya Allah di negeri kami,”

Mungkin sedikit kecewa bagi sang Imam, karena tidak bisa bersama-sama menjalani bulan Ramadhan di Tokyo. Kehadiran 3-4 orang saja mungkin akan sangat meramaikan atmosfer muslim di sana, mungkin itu sebabnya.



With Syaikh from Egypt :D


Sedikit pelajaran berharga yang kami dapatkan ketika menjadi minoritas, untuk sekedar menuju masjid, atau bertemu saudara sesama muslim di negeri kita memang mudah, tapi bayangkan ketika harus menempuh berpuluh-puluh kilometer untuk bertemu sebuah masjid, atau sedih ketika beberapa orang harus berpisah dan tidak bisa menjalankan Ramadhan bersama, hanya beberapa orang!

Meskipun hanya seminggu di sana, tapi cukup memberikan pelajaran kepada saya menjadi minoritas, dan semoga bisa menjadi penyemangat kita dan pemacu diri kita untuk lebih menghargai kondisi yang kita miliki. Aamiin! :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar