Ditengah kisruh yang tiada henti melanda negeri ini, semoga ini bisa jadi refleksi kita bersama
Satu lagi hal menarik yang saya
dapatkan ketika melakukan perjalanan ke negara tetangga, kali ini tak terlalu
jauh, Malaysia dan Thailand. Bukan, hal tersebut bukan Menara Petronas yang
telah lama menjadi simbol negeri tersebut, atau monorail yang selalu dibangga-banggakan
dan membuat iri warga ibukota Jakarta, atau pula Wat Pho, Wat Arun, Ayutthaya
di Thailand, saya pikir Candi Prambanan dan Candi Borobudur tidak jauh berbeda
dan tidak kalah mengagumkannya. Bukan pula kotanya, Kuala Lumpur dan Bangkok
pun menurut saya tidak jauh berbeda dari Jakarta, masih macet (padahal sudah
memiliki transportasi yang lebih baik, terutama Bangkok), polusi, sampah, ya
meskipun mereka lebih baik, tapi ibarat games
Sim City, Kuala Lumpur adalah level beginner,
Bangkok adalah level expert, dan Jakarta
adalah level veteran. Kesulitan dan
tantangan yang dihadapi jauh lebih menantang di Jakarta dengan lebih dari 10
juta penduduknya yang akan masih terus bertambah. Kalau bukan hal-hal tersebut,
lalu apa?
Bendera negara. Satu hal yang
akan lazim kita temukan di dua negara tersebut adalah bendera nasional mereka. Tidak
hanya satu, atau dua, atau tiga, tapi di sepanjang jalan, di setiap tempat,
setiap sudut kota. Perjalanan kami dimulai dari Kuala Lumpur, Malaysia, dan
akan dilanjutkan ke utara hingga Bangkok, Thailand. Bendera Malaysia, yang mereka
namai “Jalur Gemilang”, berkibar dengan gagahnya di seantero negeri. Literally “seantero”,
saya tidak menggunakan majas hiperbola dalam konteks ini. Turun dari pesawat
menuju bandara, perjalanan menggunakan bus menuju Sentral KL, di sepanjang
jalan kota, bahkan ketika menuju utara menggunakan kereta hingga perbatasan, Jalur
Gemilang mudah saya temukan bersandingan dengan bendera masing-masing negara
bagian. Selain itu, “1 Malaysia” yang menjadi propaganda pemerintah untuk
menginternalisasi semangat nasionalisme kepada masyarakat terpampang di
gedung-gedung besar di sana.
Lain Malaysia, lain juga
Thailand. Stasiun Hat Yai adalah tempat pertama kali saya menginjakkan kaki di
negara itu. Di stasiun tersebut saya disambut oleh Thong Trairong, nama Bendera Thailand,
yang berarti “bendera tiga warna”.
Bendera tersebut bersandingan dengan bendera kerajaan serta foto sang
raja, Bhumibol Adulyadej Agung (Rama XI). Keluar stasiun, jalanan antar kota dari
Hat Yai menuju Phuket, kemudian ketika saya bermalam di Krabi, kota kecil di
selatan Thailand, bendera negara, bersandingan dengan bendera kerjaan, serta
foto sang raja. Itu adalah kondisi di kota kecil pinggiran Thailand, rasanya
tak perlu saya jelaskan kondisi di pusat negaranya, Bangkok.
![]() |
Bendera Thailand, yang sempat saya foto, di salah satu rumah di Krabi. |
Bagaimana dengan di sini? Mari
coba kita ingat-ingat, apa yang sering kita lihat di jalan, toko-toko,
gedung-gedung, jembatan, atau paling tidak ketika kita keluar dari bandara menggunakan
jalan tol. Iklan rokok, adalah top of
mind saya ketika mencoba mengingat-ingat hal tersebut. Iklan rokok
merajalela, dibalut dengan bentuk promosi yang superkreatif, baliho besar
tentang rokok ada dimana-mana, di jalanan antar kota juga iklan rokok mudah
sekali kita temui. Setelah iklan rokok lalu apa? Second top of mind saya adalah bendera partai. Mulai dari banteng merahnya
PDIP, beringinnya Golkar, segitiga birunya Demokrat, bulan sabitnya PKS, dan
partai-partai lainnya yang masing-masing mewakili golongannya. Lalu kemana
Merah Putih? Bisa saya hitung jumlah momentum Merah Putih berkibaran di
mana-mana, hanya satu, 17 Agustus.
Wajar saya pikir, ketika negeri ini
mudah sekali panas ketika bersinggungan dengan masalah kepentingan golongan, toh
bendera partai, kenyatannya, terpampang di atas merah putih. Sudah masyarakatnya
yang sangat terdiversifikasi dengan beragam suku yang ada, diperkuat pula
dengan golongan-golongan yang ada. Padahal, ketika belajar mata pelajaran kewarganegaraan
dulu kita selalu diajarkan, apa yang mempersatukan keberagaman Indonesia? Bendera Merah Putih, Lagu
Nasional, dan Bahasa Indonesia.
****
Ketika di Krabi, pagi hari saya
bersama dua orang teman mencoba berkeliling di sana, kebetulan dekat penginapan
terdapat pasar tradisional. Saya bingung, ketika itu orang-orang berdiri semua tanpa
bergerak, serta ada lagu yang diperdengarkan ketika itu. “Eh, berhenti
berhenti, itu lagu nasional”, kata salah satu teman saya. Wow, menyanyikan lagu
nasional di pasar? Setiap pagi? Rasanya aneh bagi saya, apa hal itu kita bisa
jumpai di Indonesia? Mendengarkan lagu Indonesia Raya, rasanya momentumnya bisa
dihitung dengan jari: ketika 17 Agustus, setiap hari senin pada saat upacara (itu
pun hanya di sekolah atau instansi negara saja), dan ketika pertandingan olah
raga internasional. Selain itu? Tidak ada.
Bukan menyindir, tapi kenyataan.
Ironis? Bisa dibilang begitu. Iri? Kalau tidak iri, rasanya ke-Indonesia-an
saya perlu dipertanyakan. Tidak ingin kah kondisi seperti itu? Terlepas dari
permasalahan yang juga ada di dua negara itu (Malaysia dan Thailand),
setidaknya ketika saya menginjakkan kaki di sana, saya tahu sedang berada di
mana. Bayangkan ketika orang luar negeri datang ke negeri kita di sambut sang
saka Merah Putih. Bendera Merah Putih berjejer di jalanan, rumah-rumah, gedung-gedung,
toko-toko, jalan-jalan antar kota, dari Sabang hingga Merauke. Bendera merah
putih ada di atas hegemoni iklan rokok ataupun bendera partai. Orang asing pun
sadar bahwa dirinya sedang menginjakkan kakinya di Indonesia, bukan “negara
rokok” atau “negara partai”. Kalau sekarang, Merah Putih kemana?
Baru mampir udah suka sama tulisannya :)
BalasHapusThanks Fikri, sering-sering mampir ya :)
Hapus