Jump High!: Tokyo Dome (2014)

Jump High!: Tokyo Dome (2014)
Jump High! Tokyo Dome - Japan (2014)

Minggu, 25 Januari 2015

Merah Putih, Kemana?


Ditengah kisruh yang tiada henti melanda negeri ini, semoga ini bisa jadi refleksi kita bersama

Satu lagi hal menarik yang saya dapatkan ketika melakukan perjalanan ke negara tetangga, kali ini tak terlalu jauh, Malaysia dan Thailand. Bukan, hal tersebut bukan Menara Petronas yang telah lama menjadi simbol negeri tersebut, atau monorail yang selalu dibangga-banggakan dan membuat iri warga ibukota Jakarta, atau pula Wat Pho, Wat Arun, Ayutthaya di Thailand, saya pikir Candi Prambanan dan Candi Borobudur tidak jauh berbeda dan tidak kalah mengagumkannya. Bukan pula kotanya, Kuala Lumpur dan Bangkok pun menurut saya tidak jauh berbeda dari Jakarta, masih macet (padahal sudah memiliki transportasi yang lebih baik, terutama Bangkok), polusi, sampah, ya meskipun mereka lebih baik, tapi ibarat games Sim City, Kuala Lumpur adalah level beginner, Bangkok adalah level expert, dan Jakarta adalah level veteran. Kesulitan dan tantangan yang dihadapi jauh lebih menantang di Jakarta dengan lebih dari 10 juta penduduknya yang akan masih terus bertambah. Kalau bukan hal-hal tersebut, lalu apa?

Bendera negara. Satu hal yang akan lazim kita temukan di dua negara tersebut adalah bendera nasional mereka. Tidak hanya satu, atau dua, atau tiga, tapi di sepanjang jalan, di setiap tempat, setiap sudut kota. Perjalanan kami dimulai dari Kuala Lumpur, Malaysia, dan akan dilanjutkan ke utara hingga Bangkok, Thailand. Bendera Malaysia, yang mereka namai “Jalur Gemilang”, berkibar dengan gagahnya di seantero negeri. Literally “seantero”, saya tidak menggunakan majas hiperbola dalam konteks ini. Turun dari pesawat menuju bandara, perjalanan menggunakan bus menuju Sentral KL, di sepanjang jalan kota, bahkan ketika menuju utara menggunakan kereta hingga perbatasan, Jalur Gemilang mudah saya temukan bersandingan dengan bendera masing-masing negara bagian. Selain itu, “1 Malaysia” yang menjadi propaganda pemerintah untuk menginternalisasi semangat nasionalisme kepada masyarakat terpampang di gedung-gedung besar di sana.

Lain Malaysia, lain juga Thailand. Stasiun Hat Yai adalah tempat pertama kali saya menginjakkan kaki di negara itu. Di stasiun tersebut saya disambut oleh Thong Trairong, nama Bendera Thailand, yang berarti “bendera tiga warna”.  Bendera tersebut bersandingan dengan bendera kerajaan serta foto sang raja, Bhumibol Adulyadej Agung (Rama XI). Keluar stasiun, jalanan antar kota dari Hat Yai menuju Phuket, kemudian ketika saya bermalam di Krabi, kota kecil di selatan Thailand, bendera negara, bersandingan dengan bendera kerjaan, serta foto sang raja. Itu adalah kondisi di kota kecil pinggiran Thailand, rasanya tak perlu saya jelaskan kondisi di pusat negaranya, Bangkok.

Bendera Thailand, yang sempat saya foto, di salah satu rumah di Krabi.
Bagaimana dengan di sini? Mari coba kita ingat-ingat, apa yang sering kita lihat di jalan, toko-toko, gedung-gedung, jembatan, atau paling tidak ketika kita keluar dari bandara menggunakan jalan tol. Iklan rokok, adalah top of mind saya ketika mencoba mengingat-ingat hal tersebut. Iklan rokok merajalela, dibalut dengan bentuk promosi yang superkreatif, baliho besar tentang rokok ada dimana-mana, di jalanan antar kota juga iklan rokok mudah sekali kita temui. Setelah iklan rokok lalu apa? Second top of mind saya adalah bendera partai. Mulai dari banteng merahnya PDIP, beringinnya Golkar, segitiga birunya Demokrat, bulan sabitnya PKS, dan partai-partai lainnya yang masing-masing mewakili golongannya. Lalu kemana Merah Putih? Bisa saya hitung jumlah momentum Merah Putih berkibaran di mana-mana, hanya satu, 17 Agustus.

Wajar saya pikir, ketika negeri ini mudah sekali panas ketika bersinggungan dengan masalah kepentingan golongan, toh bendera partai, kenyatannya, terpampang di atas merah putih. Sudah masyarakatnya yang sangat terdiversifikasi dengan beragam suku yang ada, diperkuat pula dengan golongan-golongan yang ada. Padahal, ketika belajar mata pelajaran kewarganegaraan dulu kita selalu diajarkan, apa yang mempersatukan keberagaman Indonesia? Bendera Merah Putih, Lagu Nasional, dan Bahasa Indonesia.

****

Ketika di Krabi, pagi hari saya bersama dua orang teman mencoba berkeliling di sana, kebetulan dekat penginapan terdapat pasar tradisional. Saya bingung, ketika itu orang-orang berdiri semua tanpa bergerak, serta ada lagu yang diperdengarkan ketika itu. “Eh, berhenti berhenti, itu lagu nasional”, kata salah satu teman saya. Wow, menyanyikan lagu nasional di pasar? Setiap pagi? Rasanya aneh bagi saya, apa hal itu kita bisa jumpai di Indonesia? Mendengarkan lagu Indonesia Raya, rasanya momentumnya bisa dihitung dengan jari: ketika 17 Agustus, setiap hari senin pada saat upacara (itu pun hanya di sekolah atau instansi negara saja), dan ketika pertandingan olah raga internasional. Selain itu? Tidak ada.

Bukan menyindir, tapi kenyataan. Ironis? Bisa dibilang begitu. Iri? Kalau tidak iri, rasanya ke-Indonesia-an saya perlu dipertanyakan. Tidak ingin kah kondisi seperti itu? Terlepas dari permasalahan yang juga ada di dua negara itu (Malaysia dan Thailand), setidaknya ketika saya menginjakkan kaki di sana, saya tahu sedang berada di mana. Bayangkan ketika orang luar negeri datang ke negeri kita di sambut sang saka Merah Putih. Bendera Merah Putih berjejer di jalanan, rumah-rumah, gedung-gedung, toko-toko, jalan-jalan antar kota, dari Sabang hingga Merauke. Bendera merah putih ada di atas hegemoni iklan rokok ataupun bendera partai. Orang asing pun sadar bahwa dirinya sedang menginjakkan kakinya di Indonesia, bukan “negara rokok” atau “negara partai”. Kalau sekarang, Merah Putih kemana?


Tulisan ini juga dimuat di www.selasar.com: https://www.selasar.com/budaya/bendera-merah-putih

2 komentar: