Tulisan Rhenald Kasali ini sudah sekitar satu tahun lalu dipublikasikan, tapi (tentu) masih relevan sampai saat ini. Semoga bermanfaat.
Oleh Rhenald Kasali
Di banyak negara, saya sering menyaksikan siswa sekolah atau mahasiswa
yang aktif berdiskusi dengan guru atau dosennya. Persis seperti yang
dulu sering kita lihat dalam iklan margarin pada tahun 1980-an, atau
gairah siswa Wellesley College yang kita lihat dalam film Monalisa
Smile.
Sewaktu mengajar di University of Illinois, saya kerap berhadapan dengan
anak-anak seperti itu. Karena materi yang harus diajarkan begitu
banyak, saya menjawab seperti kebiasaan guru di sini. ”Sebentar ya. Biar
saya selesaikan dulu.” Namun, anak-anak itu tetap tak mau menurunkan
tangannya sebelum dilayani berdiskusi.
Belakangan saya diberi tahu bahwa pendidik yang baik harus cekatan
melayani diskusi, bukan meringkas isi buku. Seorang guru besar senior
mengingatkan, ”Kami bersusah payah mengubah satu generasi, dari TK
hingga SLTA, mengubah kebiasaan siswa yang malas berpikir menjadi aktif
mengeksplorasi dengan lebih percaya diri.”
Mengapa tradisi seperti itu tidak terjadi di sini? Bahkan di perguruan
tinggi semakin banyak dosen mengeluh bahwa anakanak sekarang tidak gemar
membaca sehingga tidak bisa diajak berdiskusi.
Dihafal, bukan dipikir
Anak-anak kita punya tradisi belajar yang sangat berbeda, yang mengakar
sejak taman kanak-kanak. Mata ajaran yang dipelajari jauh lebih banyak,
tetapi tidak mendalam. Kalau sulit, rumus yang sangat banyak dibuatkan
jembatan keledai atau singkatan-singkatan agar mudah dikeluarkan dari
otak.
Cara belajar yang demikian berpotensi menghasilkan ”penumpang” ketimbang
”pengemudi”. Karena itu, banyak orang yang lebih senang duduk menunggu,
hidup ”menumpang”, ”dituntun”, atau diarahkan ketimbang menjadi
pengemudi yang aktif dan dinamis.
Seperti tampak di angkutan umum, penumpang boleh mengantuk, tertidur,
terdiam, sibuk sendiri, tak perlu tahu arah jalan, dan praktis kurang
berani mengambil risiko. Sementara pengemudi adalah sosok yang
sebaliknya. Karena orangtua juga dibesarkan dalam tradisi belajar yang
sama, tradisi serupa ada di rumah. Dengan jumlah mata ajaran yang
semakin hari semakin banyak, jumlah yang dihafal siswa di sini juga
semakin memberatkan.
Perhatikanlah bagaimana siswa berikut ini belajar. Siswa kelas I SD yang
ibunya bekerja mengucapkan kalimat ini: ”Keluarga inti adalah keluarga
yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak. Ayah ke kantor mencari
nafkah, ibu merawat anak-anak di rumah.” Anak itu sempat protes karena
ibunyalah yang bekerja, tetapi ibu guru menyatakan ”Dihafal saja karena
bukunya berkata demikian”. Ibu di rumah berkata serupa: ”Kalau engkau
mau naik kelas, dihafal saja.”
Daya kritis tidak diberi ruang, pertanyaan-pertanyaan penting yang
diperlukan manusia untuk bernalar dimatikan sedari muda. Sementara mata
ajar kesenian yang diadakan untuk merangsang daya kreasi juga
distandarkan dan dihafal. Seperti yang dialami anak-anak yang menggambar
pemandangan: gunung dua berjajar, matahari di tengah, dan seterusnya.
Hafalan diperlukan untuk mengikuti ujian nasional dan agar diterima di
perguruan tinggi atau menjadi pegawai negeri sipil. Bahkan untuk
diterima di jurusan seni rupa sebuah perguruan tinggi negeri terkenal,
ujian masuknya juga ujian menghafal, bukan portofolio karyakarya calon
mahasiswa.
Demikianlah penumpang, sekolahnya menghafal tetapi tidak berani berbuat,
apalagi menyatakan identitas diri atau berpikir. Ini ditambah lagi
tradisi membesarkan anak yang sejak lahir tubuh dan kedua kaki-tangannya
dibedong lalu digendong. Sekalipun sudah bisa berjalan, kita selalu
dituntun orang dewasa. Beda benar dengan tradisi belajar di
negara-negara yang mendorong manusianya berpikir dan bertindak. Di
negeri penumpang, wacana berlimpah, gagasan hebat mudah ditemui di
televisi, tetapi sedikit sekali kaum elite yang bergerak.
Kurikulum berpikir
Gagasan merampingkan jumlah mata ajaran tentu saja tak boleh diikuti
oleh rasa takut yang berlebihan di kalangan para pendidik. Sebab,
sebagaimana layaknya setiap perubahan, maka tak pernah ada perubahan
yang langsung berakhir dengan kesempurnaan. Namun, satu hal yang pasti,
seperti orang yang berfoto bersama, maka setiap orang akan selalu
melihat pada wajahnya masing-masing. Ia akan mengatakan fotonya bagus,
semata-mata kalau dirinya tampak bagus.
Bagi saya, perubahan kurikulum yang ramai diperbincangkan seharusnya
dapat dilihat pada aspek lebih luas daripada sekadar merampingkan mata
ajaran. Perubahan ini seharusnya dapat dijadikan momentum untuk
melakukan transformasi diri manusia Indonesia dari tradisi mindset
”penumpang” menjadi cara berpikir ”pengemudi”. Transformasi ini
berdampak sangat luas yang sudah pasti membutuhkan penyempurnaan
bertahap hingga ke tingkat pendidikan tinggi.
Riset-riset terbaru menunjukkan, betapa banyak cara kita belajar sudah
harus diubah. Daniel Coyle (2010), misalnya, menunjukkan kemajuan yang
dicapai dalam neuroscience yang menemukan bahwa manusia cerdas tidak
hanya dibentuk oleh memori otak, tetapi juga memori otot (myelin).
Sementara Carol Dweck dan Lisa Blackwell (2011) menemukan bahwa
anak-anak yang secara akademik dianggap cerdas berpotensi menyandang
mindset tetap sehingga kecakapannya untuk berkembang menjadi terhambat.
Keduanya menunjukkan cara-cara baru membentuk mental pengemudi yang
sangat dibutuhkan untuk mempersiapkan generasi baru di abad ke-21. Jadi,
terimalah perubahan dan persiapkan lebih baik.
RHENALD KASALI Guru Besar FE-UI
Sumber: kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar