Disparitas
pembangunan nasional adalah sebuah masalah klasik bagi negeri ini. Persentase
pertumbuhan ekonomi yang dari tahun ke tahun didominasi oleh wilayah barat,
khususnya Pulau Jawa, secara tidak langsung menyiratkan sebuah pesan atas
sebuah masalah yang tak kunjung usai. Data laju pertumbuhan Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB) pada tahun 2006 hingga 2012 secara jelas menunjukkan
besarnya kontribusi yang diberikan oleh wilayah Indonesia bagian barat
(provinsi-provinsi di Pulau Jawa dan Sumatera), di mana angka pertumbuhan PDRB
wilayah-wilayah tersebut bisa mencapai dua digit.
Sementara di wilayah timur (Pulau Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku,
dan Papua) kebanyakan dari mereka masih harus terus berjuang untuk bisa
mencapai pertumbuhan sebesar 5 persen saja.
Kondisi
ini diperkuat juga dengan lemahnya pembangunan infrastruktur logistik dan
transportasi dalam negeri. Berdasarkan data yang diperoleh melalui Logistic Performance Index (LPI) yang
dikeluarkan oleh World Bank pada
tahun 2014, Indonesia hanya menempati peringkat ke-53 diantara 161 negara di
dunia. Dalam konteks ASEAN, Indonesia masih jauh tertinggal dengan
negara-negara seperti Singapura (5), Malaysia (25), Thailand (35), Vietnam
(49). Merujuk pada rincian data yang diperoleh dari World Bank, Indonesia masih harus berjuang untuk menyelesaikan
masalah seperti birokrasi yang berbelit, infratruktur yang kurang memadai, serta
masih sulitnya pengaturan harga yang kompetitif dalam pengiriman logistik.
Biaya logistik Indonesia saat ini adalah sebesar 24,6% terhadap produk domestik
bruto (PDB), jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Malaysia dan Thailand.
Belajar dari Amerika Serikat
Belajar
dari sejarah negara Amerika Serikat (AS) yang pada tahun 1863 mulai membangun
jalur kereta transkontinental. Kala itu, AS juga menghadapi sebuah permasalahan
yang sama dalam pembangunan seperti
Indonesia saat ini. Begitu banyaknya imigran asal Eropa yang
berbondong-bondong menuju pesisir timur menyebabkan pertumbuhan AS terpusat di
sisi pesisir timur saja, sementara wilayah Amerika Serikat bagian pantai barat
jauh tertinggal di belakang. Transportasi AS yang dulu bertumpu pada stagecoach Wells Fargo, atau berupa
angkutan kereta kuda, akhirnya digantikan dengan kereta transkontinental yang
lebih mutakhir, cepat, dan daya angkutnya yang jauh lebih besar. Dampak pasca
pembangunan moda transportasi terhadap pertumbuhan ekonomi di AS pun luar
biasa, hingga pada akhirnya wilayah di Amerika Serikat, baik timur maupun
barat, memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang lebih pesat.
Solusi untuk Negeri
Apa
yang dihadapi oleh Indonesia serupa dengan yang dialami oleh Amerika Serikat
dulu. Namun, tidak serta merta permasalahan di Indonesia bisa diselesaikan
dengan solusi yang sama dengan apa yang diterapkan di AS. Wilayah kedaulatan
Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau tidak bisa diselesaikan dengan hanya
membangun transportasi kereta api saja. Dibutuhkan adanya pembangunan yang
berkesinambungan dan terintegrasi dari seluruh industri transportasi, baik
darat, laut, maupun udara.
Paling
tidak, ada dua kebijakan pemerintah kini yang perlu diapresiasi. Pertama,
kebijakan pengurangan alokasi subsidi konsumsi BBM yang sebelumnya dibebankan
kepada APBN. Alokasi yang diberikan untuk subsidi energi pada tahun 2014 cukup
besar, yakni Rp 210,7,1 triliun atau sekitar 74 persen dari subsidi yang
dianggarkan. Hal ini berdampak kepada terbatasnya ruang gerak fiskal pada APBN
kita. Kebijakan yang kurang populis ini akhirnya berani diambil oleh pemerintah
yang baru untuk mulai mengurangi penggunaan subsidi terhadap konsumsi BBM.
Realokasi anggara diberikan kepada belanja-belanja modal pemerintah, terutama
terhadap ketersediaan infrastruktur, sehingga investasi yang diberikan kepada
pembangunan infrastruktur lebih tinggi dari sebelumnya. Investasi pada
infrastruktur ini cukup penting mengingat sektor ini mampu menyokong sektor
manufaktur. Kelak, sektor manufaktur ini lah yang akan menopang perekonomian Indonesia
ketika booming komoditas di negara
kita telah berakhir.
Yang
kedua adalah proyek tol laut yang sempat digaungkan oleh pemerintah di awal
masa pemerintahannya. Proyek tol laut yang dicanangkan ini bagaikan angin segar
dalam pembangunan ekonomi nasional. Pencanangan proyek ini bisa disamakan
dengan pembangunan kereta api transcontinental di Amerika Serikat, namun
berbasis maritim. Konsep dari proyek ini adalah dengan memperkuat jalur
pelayaran yang menitikberatkan pada Indonesia bagian timur. Implementasi tol
laut ini diawali dengan menentukan dua pelabuhan hub yang akan menjadi pusat
pelabuhan di Indonesia. Dua pelabuhan hub ini terletak di Pelabuhan Kuala
Tanjung, Sumatera Utara, serta Pelabuhan Bitung di Sulawesi Utara. Mega proyek
ini dilanjutkan dengan pengembangan 24 pelabuhan strategis di Indonesia yang dilakukan
bersama BUMN Pelindo. Sementara, pengoperasian kapal-kapal akan dilakukan oleh
PT Pelni (Persero).
Namun
disayangkan hingga kini adalah penyerapan anggaran dan pola distribusi barang
yang masih tidak seimbang. Sampai dengan penutupan semester-I, penyerapan
anggaran APBN oleh kementrian/lembaga adalah sebesar Rp 208,5 triliun atau 26,2
persen dari target yang ditentukan. Selain itu, pendistribusian barang
berdasarkan moda transportasi hingga saat ini masih didominasi oleh angkutan
darat. Persentase yang ditampung oleh angkutan darat sebesar 91,25%, angkutan
laut sebesar 7,07%, angkutan penyeberangan sebanyak 0,99% , angkutan udara
0,05%, angkutan sungai 0,01%, serta angkutan kereta api sebesar 0,63%. Persentase
ini menunjukkan bahwa belum ada kesesuaian antara tujuan yang ingin dicapai
pemerintah dalam membangun transportasi laut yang mumpuni dengan realisasi
dilapangan. Bertumpunya distribusi barang pada moda transportasi darat yang
notabene memiliki biaya yang lebih besar dibanding transportasi laut turut
berkontribusi pada besarnya persentase biaya logistik di Indonesia. Selain itu,
kasus dwelling time yang sempat
mengemuka ke publik juga menjadi salah satu momok dalam membangun transportasi
logistik di Indonesia
Setidaknya,
ada dua hal yang mampu dilakukan pemerintah untuk mengatasi hal-hal tersebut.
Pertama, perlu adanya sebuah pembenahan dan pengoptimalisasian semua lini moda
transportasi yang dilakukan secara terintegrasi guna menciptakan tulang punggung
logistik nasional yang dapat diandalkan. Penyelesaian masalah tidak bisa
dilakukan secara parsial. Penyelesaian kasus dwelling time di pelabuhan tidak serta merta menyelesaikan masalah
dari logistik nasional. Kedua, melakukan percepatan atas realisasi target yang
sudah ditentukan namun dengan tetap memperhatikan aspek prioritas pembangunan
karena adanya keterbatasan dana yang tersedia. Selain itu, Paket Kebijakan
Ekonomi Tahap II yang dikeluarkan pemerintah pada akhir bulan September ini
juga mampu mendorong investasi melalui sejumlah deregulasi peraturan dan mempercepat
proyek stategis nasional, khususnya dengan adanya penerbitan PP 69 Tahun 2015
terkait dengan pembebasan impor alat angkutan kereta api, galangan kapal,
pesawat, termasuk suku cadangnya dari PPN.
Tulisan ini juga dimuat di https://www.selasar.com/ekonomi/membangun-kedaulatan-transportasi-dalam-negeri
Sumber Referensi
Badan Pusat Statistik. Laju Pertumbuhan PDRB per Provinsi, (online), (http://data.go.id/dataset/laju-pertumbuhan-pdrb-per-provinsi,
diakses pada 29 September 2015).
Harian Kompas. 29 September 2015. Prioritas
Pembangunan Infrastruktur, halaman 17.
Harian Kompas. 30 September 2015. Iklim Investasi Diperbaiki, halaman 1.
Kementrian Keungan RI. Info Grafik APBN 2014, (online), (http://www.kemenkeu.go.id/sites/default/files/advertorial%20apbn%202014_061213.pdf, diakses pada 30 September 2015).
Kementrian Keungan RI. Info Grafik APBN 2015, (online), (http://www.kemenkeu.go.id/sites/default/files/Budget_Adv%20final_0.pdf,
diakses pada 30 September 2015).
Prabowo, Dani. 14 Agustus 2015. Serapan APBN Semester I-2015 Rendah, Ketua DPR Minta Pemerintah
Realisasikan Belanja, (online), (http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/08/14/173940426/serapan.apbn.semester.i-2015.rendah.ketua.dpr.minta.pemerintah.realisasikan.belanja,
diakses pada 30 September 2015).
Renehan, E. 2007. The Transcontinental Rail Road: The Gateway to The West. New York:
Infobase Publishing.
Sukmana, Yoga. 18 Agustus 2015. Publik Mulai Ragukan Proyek Tol Laut Jokowi, (online), (http://www.tribunnews.com/nasional/2015/08/18/publik-mulai-ragukan-proyek-tol-laut-jokowi,
diakses pada 29 September 2015).
World Bank. Logistic Performance Index, (online), (http://lpi.worldbank.org/international/global, diakses pada 30
September 2015).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar