![]() |
Image source |
“Again, you can’t connect the dots looking forward; you can only
connect them looking backwards.”
Demikian yang dikatakan seorang inovator
kenamaan – Steve Jobs – dalam sebuah graduation
speech yang dipersembahkan untuk para lulusan kampus Stanford, Amerika
Serikat.
Seringkali kita bertanya atas
sebuah pertanyaan filosofis di dalam sebuah penggalan episode hidup kita, “sedang
berada di mana saya?”, kemudian dilanjutkan dengan pertanyaan “akan kemana
saya?”. Pun ketika sedang berdiri di persimpangan jalan, memilih akan beranjak ke
kanan atau melangkah ke kiri, segala perhitungan dibuat, analisis cost-benefit, opportunity cost yang
harus diterima, plus dicampur dengan emosi yang secara tak sadar terlibat di
sana, dihitung matang-matang untuk kemudian menjadi sebuah keputusan.
Namun sayang, tak semua dari kita
mampu mensyukuri dengan baik setiap keputusan yang telah dibuat. “Memilih itu
mudah, mempertahankan pilihan itu yang sulit,” kata seorang teman. Penyesalan
wajar, namun berlebihan menyesali adalah kurang ajar. Karena itu sama saja
berandai-andai yang tak kunjung hentinya, suatu hal yang tak disukai oleh Allah
swt.
Maka, hukum trial and error dalam kehidupan memang benar adanya. Setiap pilihan
yang akhirnya kita ambil menjadi sebuah titik dari garis kehidupan. Berani
mengambil lompatan besar, atau bertahan pada status quo, itu pilihan. Benar atau salah pilihan itu yang diambil,
akan memberikan kita sebuah hikmah apabila kita benar-benar merenunginya.
Karena ini lah hakikat dari konsep tersebut; trial, error, gagal, coba lagi, gagal, coba lagi.
Lalu, sebuah pertanyaan besar
berikutnya adalah titik mana yang harus diambil di masa depan? Ketakutan atas
pengulangan kegagalan di masa lalu tentu menjadi momok yang membayangi. Namun,
hal ini semua kembali pada perenungan kita akan sebuah pertanyaan yang lebih
filosofis ketimbang sedang di mana dan akan kemana, yakni “apa tujuan hidup
kita?”. Jawaban yang mungkin bisa hadir cepat atau bahkan baru bisa hadir
setelah sejumlah trial and error yang
kita lalui. Maka ini lah yang menjadi tahap di mana kita meniti titik-titik
hidup kita.
Mengutip dari buku Ayah, karya
Andrea Hirata, “Tuhan selalu menghitung, dan suatu ketika, Tuhan akan berhenti
menghitung”. Setiap titik kehidupan menjadi sebuah hitungan Tuhan, hingga suatu
saat akan berhenti pada sebuah jawaban. Pun seorang Steve Jobs, baru dapat
menyambung “titik-titik”nya belasan tahun setelah beliau di-DO dari kampusnya.
Yang pasti, disetiap titik yang
akan dilalui, percaya bahwa Allah swt. selalu menyertai. Karena Allah swt lah
sebaik-baik sutradara kehidupan. Man
proposes, God disposes.
“.. So you have to trust that the dots will somehow connect in your
future. You have to trust in something – your gut, destiny, life, karma,
whatever. This approach has never let me down, and it has made all the
difference in my life.” – Steve Jobs.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar