Jump High!: Tokyo Dome (2014)

Jump High!: Tokyo Dome (2014)
Jump High! Tokyo Dome - Japan (2014)

Rabu, 25 Januari 2012

Topeng Merah

Waktu kelas XII SMA dulu, aku ingat pernah ditugasi oleh guru bahasa Indonesiaku untuk membuat sebuah cerpen. Sembari membereskan blogku yang masih berantakan, iseng-iseng, aku coba buka file-file waktu SMA dulu di laptop, dan alhamdulillah ternyata masih ada :).

Judulnya Topeng Merah, please enjoy! :D


Topeng Merah

“When you walk through a storm
Keep your chin up high
And don't be afraid of the dark.
At the end of the storm
Is a golden sky
And the sweet silver song of a lark.

Walk on through the wind,
Walk on through the rain,
Though your dreams be tossed and blown.
Walk on, walk on
With hope in your heart
And you'll never walk alone,
You'll never walk alone.”

 
(You’ll Never Walk Alone – Richard Rodgers dan Hammerstein)
 
Stadion Anfield yang disesaki 44.238 penonton itu seakan tak terbendung lagi. Para suporter serempak menyanyikan lagu ciptaan Richard Rodgers dan Hammerstein tersebut, bersamaan dengan ditiupnya peluit oleh wasit Howard Webb yang  memastikan kemenangan klub kebanggaan kota tersebut, Liverpool FC, atas Chelsea FC, klub asal kota London.
Di tengah lapangan, sekelompok orang yang berkaos merah berjingkrak-jingkrak kegirangan seperti telah memenangi lotre milyaran rupiah. Sedangkan tak jauh dari sana, sekelompok orang berkaos biru, tertunduk lesu seakan ditimpa musibah yang begitu besar.
“Bagus Nak! Kalian telah menampilkan kemampuan terbaik kalian!” teriak seorang pria tua berpakaian jas di pinggir lapangan, pria itu bernama Roy Hodgson. Tampaknya, hati Roy Hodgson hari ini begitu cerah. Secerah langit di Kota Liverpool yang berada di tepi Sungai Mersey, Inggris, Britania Raya.
*****
Cerahnya Kota Liverpool, sepertinya tidak dibarengi dengan keadaan di suatu tempat yang berjarak ribuan kilometer ke arah timur dari sana. Abu vulkanik terus menyelimuti kota Yogyakarta dari awal minggu ini sampai hari ini. Entah sampai kapan abu berbahaya ini akan hilang.
Begitu pula keadaan di suatu jalan yang berjarak ratusan kilometer ke barat. Gelapnya malam yang disertai hujan yang begitu deras, menjadikan malam ini begitu “sempurna”.
Kujalankan sepeda motorku menelusuri Jalan Nangka yang lumayan sepi malam ini. Walaupun lumayan sepi, aku tak ingin mengadu nyawaku dengan memacu motor ini, karena jarak pandangku hanya beberapa meter ke depan. Salah-salah, aku malah bisa mendapatkan sial, bukannya kenyang. Ya, tujuanku kali ini adalah “Rumah Makan Bang Mabsan”, rumah makan yang menjual nasi goreng kambing paling enak sedunia. Letaknya ada di ujung jalan ini.
*****
Seperti kata Slank dalam lagunya “Slow but sure”. Perlahan tapi pasti aku telah sampai di depan Rumah Makan Bang Mabsan. Bangunannya sederhana, lahan parkir yang hanya dapat memuat dua mobil dan disambut dengan plang berukuran 2x2 meter bertuliskan “Rumah Makan Bang Mabsan, Jalan Nangka no. 2” berada diatas pintu masuk bangunan seluas 8x12 meter ini. Sangat sederhana memang, namun kesederhanaan inilah yang menciptakan kehangatan di tengah dinginnya malam yang disertai hujan ini.
“Malem bang!” kataku mengagetkan Bang Mabsan yang sedang santai-santainya di depan televisi yang ada di ujung ruangan.
“Eh, Mas Arun, jadi kaget saya. Saya kira siapa. Mau pesen apa nih mas?”
“Kayak biasa, nasgor kambing plus jeruk panas, pas banget nih lagi dingin-dingin gini,” kataku sambil duduk di kursi yang terletak dekat jendela. Lumayan, sekalian mengawasi motorku yang ada diluar.
“Oke deh mas. Zah! Tolong buatin nasgor kambing sama jeruk panas ya!” tanpa bergerak dari tempat duduknya, Bang Mabsan menyuruh seseorang yang berada di dapur belakang untuk membuatkan pesananku.
Seseorang yang ada di dapur belakang tampaknya begitu sibuk ketika Bang Mabsan memerintahnya. Namanya Hamzah, orang asli Sleman yang sudah merantau ke Jakarta sejak tiga tahun yang lalu. Dia sempat jadi preman pasar sebelum Bang Mabsan bertemu dengannya. Ketika itu, Bang Mabsan menjanjikan kehidupan yang lebih layak asal ia mau meninggalkan “profesi” lamanya itu.
Mataku kemudian beralih keluar jendela mengawasi motor Honda Revo berwarna merah keluaran tahun 2009, motor yang telah kupakai sejak setahun yang lalu.
Ketika sedang asyiknya mengawasi motorku. Aku melihat sesosok pria bertubuh tinggi besar mengenakan jas hujan berwarna merah sedang berdiri di seberang jalan. Mukanya tak terlihat karena tertutup gelapnya malam, ditambah dengan kurangnya penerangan jalan. Aku makin curiga, karena sejak beberapa menit yang lalu dia terus menatap ke arahku.
Aku mencoba untuk memicingkan mata untuk memperjelas pengelihatanku. Namun, sepertinya pria tersebut sadar kalau aku sedang mengawasinya. Dia mengarahkan senter yang dipegangnya ke arah mataku, seolah-olah dia tidak ingin dilihat olehku. Siapa dia? Sejak kapan dia disana? Mau apa dia?
*****
“Ini mas pesanannya,” seru Hamzah.
“Astaghfirullah! Bikin kaget aja kau Zah!” Hamzah membuyarkan konsentrasiku.
“Emang lagi ngelamunin apa mas? Kok kayaknya serius amat. Ngelamunin pacar ya mas? Hehehe,” canda si Hamzah.
“Enak aja, lagi serius nih Zah.”
“Serius apaan si mas?” Hamzah semakin penasaran.
“Itu tuh, coba deh liat keluar,” kataku sambil menunjuk ke seberang jalan, dimana pria yang mengenakan jas hujan itu berada.
“Liat kemana sih mas? Wong Nggak ada apa apa,”
“Hah? Kemana orang tadi?” tanyaku.
“Orang apa sih mas? Orang-orangan sawah?” Tanya Hamzah yang tingkat penasarannya semakin meningkat.
“Sumpah, tadi beneran ada orang di seberang sana. Dari tadi kayaknya dia udah merhatiin tempat ini deh,” jelasku kepada Hamzah.
“Udah lah mas. Malem-malem gini jangan melamun yang aneh-aneh, nanti ngeliat yang aneh-aneh beneran lo.”
“Hush! Jangan ngomong sembarangan Zah! Udah malem nih,” kataku sambil melihat ke arah jam yang digantung di dinding ruangan, jam sudah menunjukkan pukul 21.48 malam.
“Ada apaan sih? Kok ribut-ribut?” Tanya Bang Mabsan yang ingin bergabung.
“Udah lah Bang, panjang ceritanya. Eh, ke mana si Mardi? Biasanya dia masih ada di sini,” tanyaku mengalihkan topik. Mardi ialah teman seperjuangannya si Hamzah, sama-sama merantau dari Sleman, sama-sama jadi preman pasar, dan sama-sama ketemu Bang Mabsan. Benar-benar serasi.
“Katanya sih pengen ngapel di rumah Marni, itu tuh yang rumahnya ada di kampung belakang,” jawab Bang Mabsan.
“Ooo pantesan aja, kayaknya kok sepi banget di sini,” kataku. Ya, di restoran sederhana ini hanya ada kami bertiga, aku, Bang Mabsan, dan Hamzah. Tak ada pelanggan lain, mungkin karena hujan yang sejak tadi sore belum berhenti. Hanya “orang gila” saja yang mau berjuang menembus hujan sederas ini hanya untuk sepiring nasi goreng kambing.
*****
Sejak beberapa menit yang lalu diriku hanya fokus ke satu hal, Nasi goreng kambing Bang Mabsan. Dengan lahap aku menghabisi nasi goreng paling enak sedunia ini. Sehingga tidak ada satu butir nasi pun yang tersisa dipiring yang ada di depanku.
Brak!
Suara pintu depan yang tiba-tiba dibuka secara kasar mengalihkan perhatianku. Secara refleks, kepalaku menoleh ke arah pintu. Belum sempat aku mengetahui siapa yang membuka pintu itu. Tiba-tiba dihadapanku ada seorang perempuan yang tingginya kira-kira lebih pendek 5 cm dariku.
“Gue titip kotak ini ke elo. Jangan dibuka sampai Gue balik lagi ke sini!” perempuan ini memerintahku sambil menyodorkan sebuah kotak kayu berwarna cokelat. Setelah itu dia langsung bergegas keluar rumah makan.
“Eh tunggu!” teriakku sambil berusaha mengejar perempuan itu.
Namun sepertinya usahaku gagal. Belum sempat aku mencapai pintu depan, dia sudah pergi menggunakan mobil Honda Jazz keluaran tahun 2006 yang dari tadi berhenti di depan.
Sepertinya perempuan itu terburu-buru, sampai-sampai dia tidak sempat memberitahu namanya padaku. Namun, apa yang membuatnya terburu-buru? Lalu, kotak apa yang dia berikan tadi? Apa ada hubungannya dengan pria besar yang tadi ada di seberang jalan?
*****
Derasnya hujan seakan tak akan pernah berhenti. Jalan didepan  sudah tergenang air setinggi mata kaki. Aku yang masih berada di teras rumah makan bergegas masuk dan menutup pintu sambil mencoba mencerna pelan-pelan apa yang sebenarnya telah terjadi.
“Siapa tadi bang? Temen?” tanya si Hamzah.
“Nggak tau tuh. Tiba-tiba aja dia dateng, terus dia ngasih Gue kotak itu,” kataku sambil menunjuk ke arah kotak yang ada di atas meja makan.
“Apaan nih bang? Saya buka ya?”
“Eh jangan!”
Terlambat. Kotak itu terbuka dan kemudian Hamzah mengeluarkan isinya.
“Topeng apaan nih?” tanya Hamzah.
“Topeng? Mana coba lihat,” kataku sambil menghampiri Hamzah.
“Hemmm, kayaknya gue pernah liat ini topeng. Tapi dimana ya?”
“Loh, itu kan topeng merah! Topeng yang biasa digunakan anggota topeng merah!” seru Bang Mabsan yang teralihkan perhatiannya dari televisi karena kejadian yang baru saja terjadi.
“Anggota topeng merah? Kelompok apaan tuh bang?” tanyaku.
“Masa lo ga tau sih? Anggota topeng merah itu komplotan penjahat yang akhir-akhir ini ngebuat polisi di Jakarta kebingungan,” jelas Bang Mabsan
“Kebingungan gimana bang?” tanyaku lagi.
“Kebingungan buat nemuin tuh komplotan. Mereka itu salah satu kelompok penting yang berperan dalam penyebaran narkoba di Jakarta ini!” kata Bang Mabsan sambil mematikan televisi. Biasanya kalau Bang Mabsan sudah mematikan televisi, menandakan kalau apa yang dia katakan itu serius.
“Anggota topeng merah nggak segan-segan buat membunuh siapa aja yang berusaha membongkar keberadaannya. Sudah banyak saksi mata yang akan melaporkan ke polisi. Namun, belum sempat mereka sampai ke kantor polisi, mereka berakhir mengenaskan!”
*****
Suasana semakin dingin. Di luar, hujan semakin deras. Suasana di dalam yang beberapa menit lalu terasa hangat, berubah 180 derajat ketika Bang Mabsan menceritakan siapa itu anggota topeng merah.
“Eh, di dalem kotak ini masih ada barang yang lain!” seru Hamzah memecah keheningan.
“Coba sini lihat!” kataku sambil mengambi kotak yang dari tadi dipengang Hamzah.
“Ini handycam!”
“Bisa dinyalain Nggak? Siapa tahu kita bisa lihat apa isinya,” kata Bang Mabsan.
“Bisa bang! Coba ke sini!”
Bang Mabsan pun bergegas mendekat.
“Astaghfirullah! Ini kan?!”
 
*****
“Matiin!” teriak seseorang yang ada di pintu depan. Seorang  perempuan cantik dengan rambut panjangnya yang terlihat basah karena kehujanan. Perempuan itu memiliki tinggi kira-kira 5 cm lebih pendek dariku. Itu perempuan yang tadi!
Perempuan itu bergegas mengambil handycam yang ada di tanganku, kemudian mematikannya.
“Kan udah gue bilang jangan dibuka!” perempuan itu tampaknya agak marah.
“Sorry-sorry, bukan gue yang ngebuka, tapi si Hamzah tuh,” kataku sambil menunjuk Hamzah. ”Lagian, emangnya kenapa kotak ini nggak boleh dibuka?” tanyaku penasaran.
“Gue nggak mau ngelibatin banyak orang, sekarang kalian semua udah tau semuanya. Dan kalian tau kan apa resikonya kalau kalian jadi saksi dari kejahatan ini?” tanya perempuan itu.
“Ki.. kita semua bakal dibunuh,” kata Bang Mabsan dengan nada yang menggambarkan kalau dia sedang ketakutan.
“Ah yang bener bang? Saya masih punya keluarga di kampung. Gimana nasibnya kalau saya dibunuh?” tanya si Hamzah dengan keluguannya.
“Udah-udah, kita semua nggak bakalan dibunuh sama komplotan topeng merah! Lagipula emangnya lo juga nggak jadi inceran mereka?” tanyaku ke perempuan itu.
“Gue udah dikejar-kejar sama mereka dari seminggu yang lalu, untungnya Gue masih bisa lolos,” jawabnya.
“Kenapa lo nggak langsung lapor ke kantor polisi aja?” tanyaku lagi.
“Mereka itu nyebar di seantero Jakarta, gue nggak bisa seenaknya aja dateng ke kantor polisi buat ngelaporin kejahatan ini!”
“Jadi lo selama seminggu ini sembunyi sendirian?”
“Sebenernya gue berdua sama temen gue. Tapi temen gue itu  kurang hati-hati, ya... jadinya lo tau lah,” kata perempuan itu, dia tak mau melanjutkan kata-katanya.
“Sorry, gue turut berbelasungkawa,” kataku memahami apa maksudnya.
Hebat juga perempuan ini, sudah seminggu dia berhasil lari dari kejaran penjahat kelas kakap. Aku tak menyangka perempuan secantik dia berani berhadapan dengan maut yang terus mengancamnya.
“Eh, oh iya, nama gue Arun,” kataku memberanikan diri memperkenalkan diri.
“Githa,” katanya.
Singkat, padat, dan jelas. Menggambarkan dengan jelas kalau perempuan ini memiliki keberanian yang tak dapat dikira jika hanya melihat dari fisiknya saja.
“Kita harus buat strategi, kita nggak boleh diem aja disini,” kata Githa sambil beranjak ke pintu depan untuk mengunci pintu.
“Biar ane yang telpon polisi,” kata Bang Mabsan.
“Eh, Jangan!” cegah Githa.
“Nanti keberadaan kita bisa dilacak!” lanjutnya.
“Telpon aja bang,” kataku menyanggah Githa. “Mau sampai kapan lo kabur dari kejaran mereka terus?” kataku.
“Oke deh mas,” kata Bang Mabsan sambil mengangkat gagang telepon yang ada di meja kasir.
“Ah sial! Teleponnya rusak. Zah udah gue bilang kan kalo teleponnya buruan dibenerin!”
“Ah, perasaan udah saya benerin kemarin sore. Apa rusak lagi ya?” kata Hamzah.
“Gawat! Kita ketahuan!” teriak Githa.
“Ah, serius lo?” tanyaku.
“Serius, telepon rumah makan ini udah mereka putus. Kayaknya mereka udah tau keberadaan kita,” jawabnya.
“Terus gimana nih? Ada yang bawa handphone? Pulsa handphone ane habis,” tanya Bang Mabsan.
“Waduh, hp saya lagi diservis,” kata Hamzah.
“Astaghfirullah, hp gue ditinggal dirumah. Tadi lagi gue charge,” kataku baru mengingatnya. Ah, aku meninggalkan handphone di waktu yang tidak tepat.
“Lo ga bawa hp Gith?” tanyaku.
“Ga mungkin, kalo gue bawa hp, mereka bisa ngelacak gue sejak seminggu yang lalu,” kata Githa.
Dok! dok! dok!
Perhatian kami berempat seketika beralih ke arah pintu.
Dok! dok! dok!
Mendengar suara ketukannya, aku merasa orang yang berada di luar nampaknya sedang marah.
“Coba liat Zah!” perintah Bang Mabsan kepada Hamzah.
Hamzah langsung bergegas mendekati pintu. Namun, sebelum dia membuka pintu, Hamzah mengintip ke luar lewat jendela.
“Ya Allah!” teriak Hamzah terbirit-birit menghampiri kami yang berada di tengah ruangan.
“Ada apa Zah?” tanyaku.
“To..to..topeng merah!” kata Hamzah ketakutan.
*****
“Serius lo Zah?” tanya Bang Mabsan.
“Serius, di luar ada tiga orang, semuanya pake topeng merah. Kecuali satu orang, dia pake topeng kayu. Mereka semua bawa senjata,” jelas Hamzah.
“Hah! Kayu? Serius kau Zah?” tanya Githa.
“Iya, emang kenapa kalau topeng kayu?”
“Itu kan si Barong! Pemimpin komplotan topeng merah!” sahut Bang Mabsan.
“Ya Ampun! Kelihatannya komplotan itu benar-benar ingin menghabisi kita semua, apalagi gue,” kata Githa.
“Ayo kita sembunyi di dapur!” sahutku.
Dok! dok! dok!
Mereka mengetuk pintu lagi.
Dok! dok! dok!
Lagi.
Dok! dok! dok!
.................................
.................................
Hening. Selama beberapa menit tak ada suara ketukan di pintu depan. Suasana sedikit tenang.
“Tampaknya mereka sudah pergi,” bisikku.
“Tak mungkin semudah ini,” kata Githa.
Bruak!
Mereka berhasil menjebol pintu depan. Tiga orang yang memakai topeng itu masuk ke dalam ruangan. Dua orang yang memakai topeng merah memegang tongkat pemukul baseball. Sementara si Barong membawa kapak.
Bruak! Bruak! Bruak!
Mereka tampaknya sedang merusak isi dari rumah makan sederhana ini.
“Kita harus keluar dari sini,” bisik Githa.
“Kita bisa keluar lewat pintu belakang. Ini, kunci mobil ane, Mas Arun bisa nyetir kan?” tanya Bang Mabsan.
“Bisa sih, emangnya Bang Mabsan nggak ikut kabur?” tanyaku.
“Ane nggak bisa ninggalin rumah makan ini Mas,” jawab Bang Mabsan.
“Kalau Bang Mabsan tetep di sini, saya ikut tetep di sini,” sahut Hamzah.
“Kalian berdua serius?” tanya Githa.
“Ya,” jawab Bang Mabsan dan Hamzah bersamaan. Tampaknya hati mereka telah menyatu untuk menjaga rumah makan ini, bagaikan ayah dan anak.
“Lalu bagaimana?” tanyaku ke Githa.
“Kita harus bergegas ke mobil dan langsung menuju ke kantor polisi yang ada di Jalan Macan,” jawabnya.
“Oke, ayo cepat!” sahutku. “Bang, Zah, hati-hati ya,” kataku ke Bang Mabsan dan Hamzah.
Aku dan Githa beranjak ke pintu belakang dengan hati-hati.
Tepat selangkah sebelum mencapai pintu. Aku melihat jendela keluar.
“Ya Allah!”
*****
Ketiga penjahat yang masih ada di ruang tengah mulai beranjak ke dapur. Bang Mabsan dan Hamzah mulai ketakutan. Mereka mencari cara untuk mempertahankan diri mereka.
“Bagaimana ini Bang?” bisik Hamzah.
“Tenang, tenang, kita ambil apa aja yang ada di dapur ini yang bisa dijadiin senjata,” kata bang Mabsan.
“Bang,” sahutku.
“Astaghfirullah! Mas, bikin ane kaget aja,” tampaknya kehadiranku membuyarkan konsentrasi Bang Mabsan.
“Kok balik lagi Mas?” tanya Bang Mabsan.
“Di belakang ada satu orang bertopeng lagi yang mengawasi kita. Kita nggak bisa keluar bang,” jawabku.
“Kita sekarang benar-benar terjebak,” tambah Githa.
“Cukup! Saya tidak sanggup sembunyi-sembunyi lagi! Kita harus melawan mereka,” kata Hamzah yang naluri kepremanannya seketika itu keluar.
“Eh, tunggu Zah!” sahutku.
Namun sepertinya terlambat. Dengan membawa tongkat kayu yang ada di pojok dapur, Hamzah mencoba menghadapi ketiga penjahat bertopeng itu sendirian.
“Jangan gila kau Zah!” sahut Bang Mabsan.
Dengan segera, Hamzah berlari menyerang ketiga penjahat bertopeng tersebut.
Buk!!! Buk!!!
Hamzah menggila. Ketiga penjahat itu dibuatnya kewalahan. Hamzah menendang tepat di dada penjahat bertopeng merah. Dan pukulan Hamzah tepat mengenai ulu hati penjahat bertopeng merah yang satu lagi.
Hingga tersisa pria bertopeng kayu, si Barong. Si Barong agaknya lebih sulit dikalahkan dibanding yang lainnya.
Ketika Hamzah sedikit lengah, kesempatan itu langsung di manfaatkan oleh si Barong. Sebuah pukulan dan tendangan si Barong mendarat di dada dan muka Hamzah. Hamzah pun terpelanting ke belakang.
Hamzah berusaha bangun, tetapi kepalanya terasa berat. Tampaknya, pukulan si Barong sangat telak.
Selagi Hamzah berusaha bangkit, si Barong mengambil kapaknya yang tadi terjatuh di lantai. Dia mengangkatnya tinggi-tinggi untuk mengambil ancang-ancang.
Prak!!!
Belum sempat kapak itu di ayunkan. Bang Mabsan dengan akurat melempar sebuah panci kecil yang tepat mengenai tangan si Barong.
Pada saat itu pula, Bang Mabsan dengan segera menyeruduk Barong hingga terjengkang ke belakang. Topeng kayu si Barong terlepas.
*****
“Mardi?” aku terkejut. Ternyata selama ini Barong adalah Mardi. Mardi, yang selama ini kukenal hanya seorang pelayan sederhana ialah pimpinan komplotan penjahat kelas kakap.
“Dasar anak kurang ajar!” teriak Bang Mabsan.
“A..a.. ampun Bang,” kata Mardi.
“Ampun? Lo hampir ngebunuh saudara lo sendiri dan lo seenaknya minta ampun?” ucap Bang Mabsan kesal.
Sebuah pukulan Bang Mabsan bersiap untuk menghantam muka Mardi.
“Jangan Bergerak!” teriak seorang bertopeng merah yang tadi ada di halaman belakang. Dia menodongkan senjatanya ke kepala Githa yang sedang lengah.
“Gith!” teriakku.
“Jangan bergerak, atau perempuan ini gue tembak,” teriak pria bertopeng merah itu.
“Uh! Sial!” aku mencoba memutar otak untuk mencari jalan keluar.
“Apa yang lo mau?” tanyaku sambil mengambil sebuah botol sambal yang ada di meja secara diam-diam.
“Semua yang ada di rumah makan ini!” jawabnya.
Ketika sedang menjawab pertanyaanku, pria bertopeng itu sempat lengah. Aku melampar botol sambal tepat menjatuhkan senjata si pria bertopeng.
Githa memanfaatkan keadaan sebaik mungkin dengan mendorong si pria bertopeng dan berlari ke arahku.
Bang Mabsan yang perhatiannya teralihkan tak menyadari bahwa si Mardi sudah berdiri di belakangnya.
“Bang awas!” teriakku.
Dor!!! Dor!!!
“Arghhh,” erang Mardi kesakitan. Sebuah tembakan tepat mengenai tangan si Mardi. Mardi menunduk sambil memegang pergelangan tangan kanannya yang berdarah.
Belum sempat aku mengetahui darimana asal tembakan itu, tiga orang polisi muncul dan langsung membekuk keempat penjahat bertopeng itu. Tidak terasa keadaan di luar menjadi ramai. Orang-orang ingin melihat apa yang terjadi
Tidak lama kemudian seorang pria besar yang mengenakan jas hujan berwarna merah muncul dari kerumunan orang. Ah! Itu orang yang tadi sempat mengawasiku!
“Papa!” teriak Githa sambil berlari ke arah pria itu.
“Papa?” pikirku dalam hati kebingungan.
Pria itu membuka jas hujannya. Terlihat seragam polisi berwarna cokelat dengan nama Hasan Idris.
“Hasan Idris? Rasanya aku tahu. Tapi siapa ya?” pikirku.
“Hei, apa kabar Run? Sudah 4 tahun tidak bertemu ya,” kata pria itu. “Kau lupa dengan ku?” tanyanya.
“Ya Ampun! Inspektur Hasan!” seruku. Inspektur Hasan adalah teman dekat orang tuaku sewaktu SMA. Ketika aku SMP dia sering bertamu ke rumahku, namun tiba-tiba saja dia pergi tanpa kabar.
“Loh, papa kenal dengan orang ini?” tanya Githa.
“Iya, ini anak yang ingin papa kenalkan ke kamu sewaktu SMP dulu. Tapi kita sudah lebih dulu pindah ke Surabaya,” jelas Inspektur Hasan.
“Kau sudah besar run, sekarang saja sudah bisa menjaga anakku,” katanya.
“Hahaha, paman bisa saja,” kataku.
“Wah, wah, ternyata di sini ada Inspektur Hasan,” kata Bang Mabsan.
“Apa kabar Bang? Udah lama nggak ketemu ya,” kata Inspektur Hasan.
“Kalau ane sih baik-baik aja,hahaha,” jawab Bang Mabsan.
“Inspektur yang dari tadi mengawasi di sini?” tanyaku.
“Ya, soalnya ada desas-desus yang mengatakan bahwa ketua topeng merah tinggal di sekitar sini. Aku ingin terjun langsung melihatnya, sekaligus mencari anakku yang sudah menghilang selama seminggu ini,” jelas Inspektur Hasan.
“Tapi kok aneh ya, saya tidak menyangka kalau si Barong itu Mardi,” kataku.
“Ane juga nggak nyangka, padahal ane udah ajarin yang bener-bener. Tapi dia malah makin jadi penjahat,” kata Bang Mabsan
“Kejahatan itu bukan karena niat dari pelakunya bang,” kata Githa.
“Tapi karena ada kesempatan, waspadalah, waspadalah,” kataku menyambung kata-kata Githa.
“Hahahahaha,” semuanya tertawa menghangatkan suasana.
 Hujan sudah mulai mereda dan sudah lewat tengah malam. Entah kenapa walaupun cuaca agak dingin, suasana di Rumah Makan Bang Mabsan terasa hangat.
Seperti hangatnya kota Liverpool yang masih tenggelam dalam euforia kemenangan klub kebanggaan kota mereka. Para suporter terus menyanyikan lagu kebanggaan mereka.
“Walk on, walk on
With hope in your heart
And you'll never walk alone,
You'll never walk alone.”
(YNWA)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar